Minggu, 15 Juli 2012

2. PENCAPAIAN PENCERAHAN SEMPURNA

PELEPASAN KEDUNIAWIAN
Keempat peristiwa agung terjadi satu per satu. Apa yang telah diramalkan kedelapan brahmin cendekia menjadi kenyataan.
Di istana kediamannya, Raja Suddhodana tengah mengadakan pesta besar-besaran. Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk melayanisang pangeran untuk merayakan kelahiran cucu Raja Suddhodana – Rãhula, yang lahir pagi itu.
Sang pangeran, yang baru saja kembali dan perjalanan-Nya yang berbahagia, tampak lebih bahagia dibandingkan perjalanan sebelumnya. Ia berbahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun juga, pangeran tidak ingin mengecewakan ayah-Nya. Dengan tenang Ia menyantap makan malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian dan tarian yang disuguhkan untuk-Nya. Benak-Nya dipenuhi dengan keinginan untuk membebaskan semua makhluk dan usia tua, penyakit, dan kematian, yang semuanya menyengsarakan, menekan, dan menyedihkan.

MENINGGALKAN ISTANA
Sekitar pertengahan malam, Pangeran Siddhattha terbangun. Ia duduk bersilang kaki di bangku, lalu melihat sekeliling. Semua gadis penari, penyanyi, dan pemusik tengah tidur mlang melintang di lantai kamar itu. Pangeran merasa sangat jijik dengan pemandangan ini; mereka semua tak ada bedanya dengan mayat di pekuburan.
Pangeran Siddhattha, semakin tak melekat pada kelima objek kenikmatan indrawi, yang semuanya bukan merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita yang lebih mendalam.
Tekad Pangeran Siddhattha semakin kuat. Inilah waktunya untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Ia lalu meninggalkan kamar itu perlahan-lahan dan Ia melihat Channa, yang tengah tidur dengan membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran Siddhattha membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka, kuda-Nya.
Channa menaati permintaan-Nya. Segera Ia membawa tali kekang dan beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan, lalu menuju ke kandang kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran Siddhattha merasa bahwa Ia perlu menengok isteri dan putra-Nya yang baru lahir sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, pangeran berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani memindahkan tangan Putri Yasodhara dan menimang putra-Nya kendatipun Ia sangat ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodhara terjaga dan tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka sudah siap dan menunggu pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam purnama, bulan Asalha, 594 S.M, di usia ke 29 tahun, pada waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan sang pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.
MEMOTONG RAMBUT
Pangeran Siddhattha menunggangi si kuda putih Kanthaka yang melesat dengan kencang. Namun setelah sesaat perjalanan, sebuah gagasan muncul pada-Nya untuk memandangi Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu dan membalikkan badan untuk memandangi kota tersebut untuk terakhir kalinya. Tepat di tempat kuda istana Kanthaka berhenti itu akhirnya dibangun sebuah kuil suci (cetiya) yang disebut Cetiya Kanthakanivatta. Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga kerajaan, yaitu: Sãkya, Koliya, dan Malla. Sepanjang malam, Ia menempuh jarak sejauh tiga puluh yojana (satu yojana setara dengan dua belas mil) Akhirnya Ia tiba di tepi Sungai Anoma dan menyeberanginya.
Saat itu hari telah pagi. Pangeran Siddhattha turun dan punggung Kanthaka. Ia meminta Channa untuk pulang kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda kebesaran kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Channa memohon untuk mengikuti-Nya menjadi petapa, tapi Pangeran Siddhattha melarangnya. Setelah Pangeran Siddhattha menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu ke udara. Kini rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa untuk segera kembali ke Kapilavatthu. Channa memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat hormat, membawa serta tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan Kanthaka, lalu pergi meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan pulang, Kanthaka yang bersedih sejak perpisahan itu, tidak lagi dapat menahan dukanya, dan akhirnya meninggal di perjalanan. Setelah berpisah dengan dua sahabat akrabnya, Channa akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil meratap dan menangis.
MENJALANI PERTAPAAN
Setelah menjadi petapa, Bodhisatta tinggal di hutan mangga yang disebut Anupiya tidak jauh dari Sungai Anomã selama 7 hari pertama, dan kemudian Ia pergi menuju ke Rajagaha, ibukota Kerajaan Magadha.Di Rajagaha,Iamenolak tawaran Raja Bimbisara yang akanmemberikan separuh kekuasaannya setelah mengetahui identitas Bodhisatta.
Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan dengan menuruni Bukit Pandava dan menuju ke Kota Vesali, tempat seorang guru agama yang ternama, Alara Kalama yang tinggal bersama para siswanya. DisanaBodhisatta bergabung dan menjadi siswa dari Alara Kalama.
Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa, Bodhisatta telah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Alara Kalama bahkan mencapai pencapaian yang sama dengan guru-Nya itu. Namun setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati, usia tua, dan penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.
Kemudian Bodhisatta meninggalkan Vesali dan berjalan menuju NegeriMagadha. Ia menyeberangi Sungai Mahi, dan sejenak kemudian sampai di sebuah pertapaan lain di tepi sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh seorang guru agama yang sangat dihormati. Bernama Uddaka Ramaputta (Uddaka, putra Rama). Kemudian Bodhisatta pun bergabung dan menjadi siswa dari Uddaka Ramaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Ia mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Uddaka Ramaputta bahkan melampauinya. Namun, Bodhisatta segera mengetahui bahwa pencapaian-Nya itu bukanlah apa yang Ia cari. Karena tidak puas dengan pencapaian-Nya itu. Ia meninggalkan pertapaan Uddaka Ramaputta.
PRAKTIK PERTAPAAN YANG KERAS
Setelah meninggalkan pertapaan Uddaka Ramaputta, Petapa Gotama menuju ke Senanigama (kotaniaga Senani) di Hutan Uruvela. Ketika disanalah Petapa Gotama bertemu dengan 5 orang petapa (pancavaggiya) yang terdiri dari Kondanna, Vappa, Mahanama, Assaji dan Bhaddiya.
Selama di Hutan Uruvela, Petapa Gotama menjalankan latihan tapa yang paling berat (dukkaracariya), yang sulit dipratikkan oleh orang biasa. Ia menyatakan tekad usaha kuat beruas empat yang dikenal sebagai padhana-viriya, sebagai berikut: “Biarlah hanya kulit-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya urat daging-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya tulang belulang-Ku yang tertinggal! Biarlah daging dan darah-Ku mengering!” Dengan tekad ini, Ia tak akan mundur sejenak pun, namun akan melakukan usaha sekuat tenaga dalam praktik itu.
Dalam praktik pertapaan yang keras tersebut, Petapa Gotama berlatih untuk mengurangi makan sedikit demi sedikit hingga tidak makan sama sekali. Karena melakukan hal tersebut, tubuh-Nya berangsur-angsur menjadi semakin kurus dan akhirnya hanya tinggal tulang belulang. Karena kurang makan, sendi-sendi dalam tubuh dan anggota tubuh-Nya menyembul seperti sendi rerumputan atau tanaman menjalar yang disebut asitika atau kala (Latin: Polygonum aviculare dan S. lacustris).
Enam tahun sudah Petapa Gotama menjalankan pertapaan yang keras dan tiba pada tahap kritis dimana Ia berada di ambang kematian. Hingga suatu hari ketika berjalan-jalan, Ia pingsan dan terjerembab karena tubuh-Nya dilanda panas yang tak tertahankan dan karena kurang makan berhari-hari. Ketika itu, seorang anak laki-lagi pengembala kebetulan lewat di tempat terjatuhnya Petapa Gotama. Setelah membangunkan Petapa Gotama, anak gembala itu menyuapkan air susu kambing bagi-Nya.
MENCARI JALAN LAIN UNTUK MENCAPAI PENCERAHAN
Pada suatu sore, Petapa Gotama merenungkan bahwa Ia telah pulih kembali dan merasa lebih segar setelah jatuh pingsan pada hari sebelumnya – berkat susu kambing yang diberikan oleh anak laki-laki gembala itu. Jika tidak demikian, pastilah Ia sudah mati. Tatkala merenung seperti itu, sekelompok gadis penyanyi yang tengah berjalan menujukotaberlalu di dekat tempat Ia bermeditasi. Seraya berjalan, mereka berdendang: “Jika dawai kecapi ditala terlalu longgar, suaranya tak akan muncul. Jika dawai ditala terlalu kencang, dawai akan putus. Jika dawai ditala tidak terlalu longgar dan tidak terlalu kencang, kecapi akan menghasilkan suara merdu.”
Batin Petapa Gotama sungguh tergugah oleh syair tembang yang dilantunkan para gadis itu. Ia telah terlalu banyak menikmati kepuasan indrawi dengan segala kemewahannya selagi masih tinggal di istana dulu. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu longgar, demikian pula Pencerahan tak akan tercapai dengan pemanjaan diri. Ia juga telah menjalankan tapa sedemikian ketat hingga hampir mati. Sebagaimana halnya dawai kecapi yang ditala terlalu kencang, demikian pula Pencerahan tak dapat dicapai melalui penyiksaan diri.
Waktu itu adalah hari pertama bulan mati, Vesak, 588 S.M, ketika timbul pemikiran dalam diri Petapa Gotama yang menyadari bahwa praktik keras yang Ia lakukan selama ini tidaklah membawa pada Pencerahan. Setelah berpikir demikian, sejak saat itu Petapa Gotama selalu menuju kekotaniaga Senani untuk menerima dana makanan serta makan setiap pagi guna memulihkan kondisi tubuhnya. Dengan demikian Ia bisa melanjutkan pencarianNya dengan menggunakan latihan pengembangan anapana bhavana (meditasi memperhatikan napas) yang telah Ia lakukan semasa kecil di hari “Perayaan Bajak Kerajaan” yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana.
Kelima petapa, yang selama ini melayani Bodhisatta selama enam tahun dengan pengharapan yang tinggi, mulai berpikir: “Apa pun kebenaran yang telah disadari oleh Bodhisatta akan diajarkan-Nya kepada kami.” Namun sekarang, ketika tampak oleh mereka bahwa Bodhisatta telah mengubah cara latihan-Nya dengan menerima makanan apa pun yang dipersembahkan untuk-Nya, mereka menjadi muak dan menggerutu: “Bodhisatta telah memanjakan diri sendiri; Ia telah berhenti berjuang dan kembali menikmati kemewahan.”
Setelah itu, kelima petapa meninggalkan-Nya dan menuju ke Migadaya, Taman Rusa, di Isipatana, dekat Bãranasi (Benares). Setelah para petapa yang melayani-Nya meninggalkan diri-Nya, Petapa Gotama hidup menyendiri di Hutan Uruvela. Walaupun kehadiran mereka semasa perjuangan keras-Nya cukup membantu, namun Ia tidak berkecil hati ditinggalkan sendirian sekarang; malahan ini menguntungkan diri-Nya. Ia berdiam dalam suasana yang sangat terpencil, yang mendukung tercapainya kemajuan yang luar biasa serta pengembangan konsentrasi-Nya.
Setelah Petapa Gotama menerima persembahan nasi susu dari Sujata di pagi hari, pada hari keempat belas bulan Vesak, 588 S.M, Bodhisatta kemudian pergi menuju hutan sala di tepi Sungai Neranjara. Di sana Ia beristirahat sejenak dan melewati sisa hari itu di bawah naungan rindang sebatang pohon sãla sambil berkonsentrasi dalam anapana bhavana. Pada senja sore hari itu, kala udara terasa sejuk dan angin berhembus sepoi-sepoi, Ia menuju ke Hutan Gaya, ke kaki pohon bodhi (Pali: assattha; Latin: Ficus religiosa).
Dalam perjalanan, Ia bertemu dengan seorang penyabit rumput bernama Sotthiya, yang tengah datang dan arah yang berlawanan seraya memikul rumput. Dia sangat terkesan oleh penampilan agung Petapa Gotama. Setelah tahu bahwa Petapa Gotama memerlukan sedikit rumput, dia lalu mempersembahkan delapan genggam rumput kusa kepada-Nya.
Sesampainya di pohon bodhi, Petapa Gotama memeriksa sekeliling untuk mencari tempat yang sesuai untuk bermeditasi. Setelah itu, Petapa Gotama duduk bersilang kaki dengan menghadap ke timur. Ia menyatakan tekad-Nya yang bulat: “Walaupun hanya kulit, urat daging, dan tulang-Ku yang tertinggal! Biarpun seluruh tubuh, daging, dan darah-Ku mengering dan berkerut! Aku tidak akan bangkit dari tempat duduk ini kecuali dan sampai Aku mencapai Kebuddhaan!”
Setelah mengalami pergulatan batin yang berat selama beberapa waktu, akhirnya Petapa Gotama berhasil menundukkan rasa ngeri, keinginan duniawi, niat buruk, dan kekejaman. Kemenangan-Nya atas pergulatan batin ditandai dengan berjajarnya bulan purnama yang tengah menyingsing di ufuk timur dengan bulatan merah matahari yang tengah terbenam di ufuk barat. Bodhisatta akhirnya mengetahui bahwa itulah saat yang tepat untuk meneruskan perjuangan-Nya mencapai Pencerahan Agung. Pada malam bulan purnama, bulan Vesak, 588 M, Bodhisatta tetap duduk tenang memusatkan perhatian-Nya.
Setelah Ia memasuki jhana pertama, kedua, ketiga dan keempat dalam meditasi-Nya, pikiran-Nya yang terkonsentrasi menjadi murni, cermelang, tanpa noda, tanpa cacat, mudah ditempa, mudah dikendalikan, serta tak tergoyahkan. Saat itu Ia mengarahkan pikiran-Nya dan mencapai tiga pengetahuan.
Pengetahuan pertama merupakan pengetahuan melihat dengan jelas dan rinci kelahiran-kelahiran-Nya yang terdahulu (pubbenivasanussati ñana). Hal ini terjadi pada waktu jaga pertama, yaitu antara jam 18.00 sampai 22.00.
Pengetahuan kedua merupakan pengetahuan melihat dengan jelas kematian dan tumimbal lahir kembali makhluk hidup (dibbacakkhu ñana). Ia melihat makhluk-makhluk lenyap dan muncul kembali dalam kondisi rendah dan mulia, cantik dan buruk, mujur dan sial. Hal ini terjadi pada waktu jaga kedua, yaitu antara jam 22.00 sampai 02.00.
Pengetahuan ketiga merupakan pengetahuan akan penghancuran noda (asavakkhaya ñãna). Ia mengetahui secara langsung segala sesuatu sebagaimana adanya. Ia menyadari dan mencerap bahwa pikiran-Nya terbebas dari noda keinginan indrawi, noda kehidupan, dan noda kebodohan batin. Dan ketika Ia terbebas, muncullah pengetahuan bahwa Ia telah terbebas. Ia menyadari langsung bahwa kelahiran-Nya sudah dihancurkan; hidup suci sudah dijalankan; apa yang harus dilakukan sudah dilakukan; tiada lagi kelahiran kembali di alam mana pun juga. Hal ini terjadi pada waktu jaga ketiga, yaitu antara jam 02.00 sampai 04.00. Ia mengetahui bahwa “inilah penderitaan”, bahwa “inilah sumber penderitaan”, bahwa “inilah berakhirnya penderitaan”, dan bahwa “inilah jalan menuju akhirnya penderitaan”.
Dengan tercapainya Pengetahuan Sejati Ketiga maka Bodhisatta mencapai Arahatta-Magga, menjadi Yang Sadar (Buddha), Yang Terberkahi (Bhagava), Yang Tercerahkan Sempurna (Sammasambuddha). Seiring dengan Pencerahan-Nya, Buddha juga memperoleh penegtahuan sempurna tentang Empat Kebenaran Ariya (Cattari Ariya Saccani).
Demikianlah menjelang fajar pada hari bulan purnama, Vesak 588 S.M, pada usia tiga puluh lima tahun, Bodhisatta mencapai Kemahatahuan dan menjadi Buddha dari tiga dunia dengan usaha-Nya sendiri.
UNGKAPAN KEBAHAGIAAN
Dengan tercapainya Pencerahan Sempurna, Sang Buddha mengungkapkan kebahagiaan-Nya dengan melontarkan dua bait syair nyanyian pujian kebahagiaan (udana).
“Tak terhingga kali kelahiran telah Kulalui
Untuk mencari, namun tak Kutemukan, pembuat rumah ini.
Sungguh menyedihkan, terlahir berulang kali!”
“O pembuat rumah! Sekarang engkau telah terlihat!
Engkau tak dapat membuat rumah lagi!
Semua kasaumu telah dihancurkan!
Batang bubunganmu telah diruntuhkan!
Kini batin-Ku telah mencapai Yang Tak Terkondisi!
Tercapai sudah berakhirnya nafsu keinginan!”
Sumber print this page Print this page

Tidak ada komentar:

Posting Komentar