Minggu, 15 Juli 2012

BAKTI KEPADA ORANG TUA

 Pendahuluan
Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang tidak berbakti kepada orangtuanya. Mereka sering menyalahkan orangtuanya karena mereka menganggap bahwa orangtuanya tidak memberikan cinta kasih dan perhatian yang penuh kepada mereka. Mereka selalu menuntut cinta kasih dan perhatian dari orangtuanya karena mereka menganggap bahwa cinta kasih dan perhatian itu wajib diberikan oleh orangtua kepada mereka. Mereka tidak menyadari bahwa anak yang baik seyogyanya tidak menuntut cinta kasih dan perhatian, tetapi melakukan kewajibannya dengan baik.
Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang selalu menuntut agar orangtuanya dapat menjadi manusia yang sempurna dalam berbagai hal, seperti  Ariya Puggala (makhluk suci). Anak-anak selalu menuntut agar orangtuanya berkelakuan baik dan bertutur kata ramah, tanpa pernah mengoreksi dirinya sendiri. Anak-anak selalu melihat sifat-sifat buruk yang dimilikinya oleh orangtuanya, tanpa pernah menyadari bahwa orangtuanya yang belum mencapai kesucian itu masih dapat berbuat salah. Anak-anak selalu mencela dan membenci orangtuanya jika orangtuanya berbuat salah. Tanpa pernah berusaha memberitahu kesalahan orangtuanya dengan cara yang bijaksana. Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa orangtuanya dapat berwatak keras itu sesungguhnya karena pengalaman masa lalunya. Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya tidak mudah untuk merubah sifat dan watak orangtuanya yang keras itu. Anak-anak tidak pernah menyadari bahwa jika mereka tidak dapat merubah sifat dan watak orangtuanya yang keras itu, maka seharusnyalah mereka merubah pikirannya sendiri.

Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang tidak menghormati dan tidak patuh kepada orangtuanya. Mereka sering mendelik, menentang, dan membangkang orangtuanya. Mereka datang dan pergi dari rumah tanpa memberitahukan kepada orangtuanya. Mereka pergi meninggalkan rumah pagi-pagi sekali dan kembali sampai jauh malam. Mereka tidak mengacuhkan teguran-teguran dan peringatan-peringatan yang diberikan orangtuanya.
Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang sukar dididik dan diatur. Mereka keras kepala, malas, dan dungu. Mereka tidak mempunyai keinginan untuk belajar. Mereka berteman dengan orang-orang jahat dan segera meniru kebiasaan-kebiasaan jahat tersebut. Mereka menjadi nakal, suka berkelahi, gemar berjudi, tidak perduli lagi pada moral, terjerumus dalam kehidupan seks yang salah, masuk dalam kenikmatan narkotika, ganja, dan sejenisnya. Kemudian, mereka menarik saudara-saudaranya untuk ikut berbuat jahat, sehingga menambah kesedihan orangtuanya.
Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang tidak memperdulikan kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesehatan orangtuanya. Mereka tidak pernah menanyakan apakah orangtuanya tidak menderita panas atau dingin, lapar atau haus. Mereka tidak pernah menanyakan, apakah orangtuanya dapat tidur nyenyak dan beristirahat dengan tenang. Mereka tidak pernah menanyakan apakah orangtuanya tidak menderita sakit apapun. Mereka tidak pernah melayani orangtuanya dengan baik. Mereka tidak pernah memperhatikan kesusahan orangtuanya, Mereka tidak pernah mengetahui bahwa orangtuanya sering menangis, meratap, dan berkeluh kesah.
Di dunia ini sering dijumpai anak-anak yang melupakan kebaikan orangtuanya. Mereka tidak menyadari pengorbanan yang amat besar yang telah diberikan oleh orangtuanya kepada mereka. Mereka tidak tahu berterima kasih kepada orangtuanya. Mereka tidak berbakti kepada orangtuanya. Mereka tidak berusaha menghibur dan membahagiakan orangtuanya. Mereka tidak berusaha memenuhi keinginan-keinginan orangtuanya. Mereka baru menyadari semua itu ketika orangtuanya sudah meninggal dunia. Mereka baru menyesali semua sikap dan tingkah lakunya sebagai anak yang tidak berbakti. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Dalam kitab suci Dhammapada Bab V ayat 67, Sang Buddha bersabda,
“Bilamana suatu perbuatan setelah selesai dilakukan
membuat seseorang menyesal,
maka perbuatan itu tidak baik.
Orang itu akan menerima akibat perbuatannya
dengan ratap tangis dan
wajah yang bergelimang air mata.”
PENGORBANAN ORANGTUA
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan manusia didunia ini tidak terlepas dari jasa dan pengorbanan orangtuanya. Pengorbanan orangtua telah diberikan sejak ibu mengandung, melahirkan, sampai anak-anaknya dewasa dan menikah, bahkan sampai orangtua meninggal dunia. Orangtua selalu berkorban untuk anak-anaknya, paling tidak dengan pemikiran kehidupan anak-anaknya.
Pada saat ibu mengandung badannya seolah-olah menjadi seberat gunung. Selama mengandung, ibunya merasakan kesusahan setiap kali bangun tidur, seolah-olah mengangkat beban yang berat. Sepanjang hari, ibu terasa mengantuk dan lamban. Seperti orang sakit parah, ibu tidak mampu menelan makanan dan minuman dengan baik. Setiap hari ibu selalu gelisah memikirkan anaknya yang akan lahir, apakah cacat atau normal. Ibu juga khawatir dan takut akan kematian.
Setelah sepuluh bulan berlalu, ibu menderita berbagai macam kesakitan waktu melahirkan. Ibu mempertaruhkan kehidupannya sendiri pada saat melahirkan anaknya. Darah ibu mengalir laksana darah seekor domba yang mengucur ketika disembelih. Ibu sangat letih dalam badan dan pikiran. Namun, ketika mendengar bahwa anaknya terlahir normal dan sehat, ia dipenuhi dengan kegembiraan yang melimpah. Tetapi sesudah itu, kesedihan datang kembali, karena rasa sakit kembali menyerang tubuhnya untuk beberapa waktu lamanya.
Setelah anak lahir, ibu menggendongnya dan memberikan air susu yang merupakan darahnya sendiri. Ibu mengasuh anaknya dengan penuh kasih sayang. Ibu membersihkan kotoran anaknya tanpa merasa jijik. Ibu dan juga ayah menjaga anaknya siang dan malam. Mereka tidak pernah tidur nyenyak, karena selalu diganggu oleh tangis anaknya. Mereka tidak pernah memikirkan rasa laparnya, tetapi mereka selalu mengusahakan agar anaknya mendapat makanan dan minuman yang cukup.
Ibu dan ayah selalu mencintai dan berusaha membahagiakan anak-anaknya. Mereka selaku berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dengan rela, mereka menderita untuk kepentingan anak-anaknya. Mereka, terutama ayah, berusaha bekerja keras mencari uang untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Mereka berusaha memberikan berbagai ilmu pengetahuan dan ketrampilan kepada anak-anaknya, sehingga kelak anak-anaknya dapat bekerja sendiri.
Orangtua memikirkan anak-anaknya. Orangtua ikut bersuka cita akan kebahagiaan anak-anaknya dan turut berduka akan kesulitan anak-anaknya. Bila anak bekerja berat, orangtuanya merasa sedih. Bila anak bepergian jauh, orangtua merasa khawatir akan keadaan anaknya. Dari pagi hingga malam, hati mereka selalu bersama anak-anaknya. Mereka selalu berdoa agar anak-anaknya selamat sejahtera, dan bahagia dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Orangtua tidak pernah merasa bosan untuk mendidik dan membimbing anak-anaknya. Mereka mengajarkan sila atau kelakuan bermoral kepada anak-anaknya, dengan harapan agar anak-anaknya dapat tumbuh menjadi manusia yang bermoral baik. Mereka berusaha menumbuhkan   hiri (malu berbuat jahat ) dan ottapa ( takut akan akibat perbuatan jahat ) dalam diri anak-anaknya. Mereka berusaha menanamkan ajaran cinta kasih, kerelaan memberi, menghormati yang lebih tua, toleransi, sopan santun, mempunyai tanggung jawab, dan lain-lain.
Orangtua selalu berusaha melaksanakan kewajiban-kewajibannya, seperti yang tercantum dalam Sigalovada Sutta, dengan baik dan secara ikhlas.
Terdapat lima kewajiban orangtua terhadap anak-anaknya, yaitu :
1. Mencegah anaknya berbuat jahat.
2. Menganjurkan anaknya berbuat baik
3. Melatih anaknya untuk dapat bekerja sendiri
4. Mempersiapkan pasangan yang sesuai bagi anaknya.
5. Memberikan warisan pada waktu yang tepat.
BAKTI ANAK KEPADA ORANGTUA
Jasa orangtua amat besar dan sulit terbalas oleh anak-anaknya selama hidupnya. Dalam  Anguttara Nikaya Bab IV ayat 2 Sang Buddha memberikan perumpamaan sebagai berikut : “Bila seorang anak menggendong ayahnya dipundak kiri dan ibunya di pundak kanan selama seratus tahun, maka anak tersebut belum cukup membalas jasa kebaikan yang mendalam dari orangtuanya.”
Anak-anak amat berhutang budi kepada orangtuanya. Tanpa kasih sayang dan pengorbanan orangtua, anak-anak tidak mungkin dapat hidup bahagia. Sang Buddha pernah mengatakan bahwa orangtua laksana “Brahma” bagi anak-anaknya. Oleh sebab itu, anak-anak seyogyanya berbakti kepada orangtuanya. Anak-anak seyogyanya merasa gembira dan bahagia bila berkumpul dengan orangtuanya. Anak-anak seyogyanya berlaku baik dan sopan terhadap orangtuanya.
Dalam Dhammapada bab XXIII ayat 332, Sang Buddha bersabda, “Berlaku baik terhadap ibu merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini; berlaku baik terhadap ayah juga merupakan kebahagiaan. Berlaku baik terhadap pertapa merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini, berlaku baik terhadap Para Ariya juga merupakan kebahagiaan.”
Anak–anak seyogyanya berusaha melakukan kewajibannya sebagai anak dengan sebaik-baiknya. Dalam Sigalovada Sutta diuraikan mengenai 5 macam kewajiban anak kepada orangtuanya, yaitu,
1.       Merawat dan menunjang kehidupan orangtuanya terutama dihari tua mereka.
2.       Membantu menyelesaikan urusan-urusan orangtuanya.
3.       Menjaga nama baik dan kehormatan keluarganya.
4.       Mempertahankan kekayaan keluarga, tidak menghambur-hamburkan harta orangtua dengan sia-sia.
5.       Memberikan jasa-jasa kebahagiaan kepada orangtuanya yang telah meninggal dunia.
1. Merawat dan menunjang kehidupan orangtua.
Anak-anak seyogyanya merawat dan menunjang kehidupan orangtuanya yang telah tua dengan hati yang tulus ikhlas. Anak-anak seyogyanya menanyakan kesehatan orangtuanya. Jika sakit, anak-anak seyogyanya mengajak orangtuanya berobat ke dokter, membantu meminumkan obat, menghiburnya, dan sebagainya. Anak-anak seyogyanya membawakan makanan dan minuman yang enak bagi orangtuanya. Anak-anak seyogyanya menyempatkan diri untuk menemani orangtuanya pergi ke Vihara atau jalan-jalan ke tempat rekreasi.
Anak-anak seyogyanya menyediakan tempat tinggal yang layak bagi orangtuanya yang ingin menginap. Anak-anaknya tidak patut menolak kedatangan orangtuanya yang ingin menginap. Anak-anak tidak patut saling melempar tanggung jawab diantara mereka dalam hal merawat dan menampung orangtuanya. Seharusnya anak berbahagia jika orangtuanya memilih tinggal di rumahnya, karena anak tersebut mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membalas kebaikan orangtuanya. Anak yang berbakti tidak akan menempatkan orangtuanya di rumah jompo, walaupun dengan alasan orangtuanya lebih senang karena banyak teman.
2. Membantu menyelesaikan urusan-urusan orangtuanya.
Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti mempunyai barbagai masalah, termasuk orangtua kita. Anak-anak seyogyanya berusaha membebaskan orangtuanya dari berbagai masalah dan kekhawatiran. Anak-anak seyogyanya menanyakan masalah-masalah yang dihadapi oleh orangtuanya dengan lemah lembut. Kemudian, anak-anak berusaha menghibur orangtuanya dengan mengatakan bahwa semua masalah pasti dapat terpecahkan. Tidak ada problem yang tidak terselesaikan. Tidak ada kesulitan yang tidak ada akhirnya. Selanjutnya, anak-anak berusaha membantu memecahkan masalah-masalah orangtuanya tersebut.
3. Menjaga nama baik dan kehormatan keluarga.
Anak-anak seyogyanya bertutur kata sopan dan berkelakuan baik. Anak-anak seyogyanya menjalankan Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari, yang berarti berusaha menghindari kejahatan. Anak-anak seyogyanya berusaha menambah kebaikan dengan berdana dan lain-lain. Anak-anak seyogyanya berusaha membersihkan pikirannya dari lobha (keserakahan), dosa ( kebencian), dan moha ( kebodohan). Anak-anak seyogyanya berusaha mengembangkan nialai-nilai spiritual dalam batinnya; melatih diri untuk menjadi baik; melatih kesabaran, toleransi, simpati, rendah hati, ramah, jujur, bijaksana, dan memiliki kesederhanaan. Dengan mempraktekkan ajaran-ajaran Sang Buddha dalan kehidupan sehari-hari, anak tersebut telah dapat menjaga nama baik dan kehormatan keluarga.
4. Mempertahankan kekayaan keluarga.
Hasil jerih payah orangtua selama hidup merupakan harta warisan yang perlu di jaga agar dapat membawa manfaat. Anak-anak harus memanfaatkan harta tersebut dangan sebaik-baiknya untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat.
5. Memberikan jasa-jasa kebahagiaan kepada orangtuanya yang telah meninggal dunia.
Setelah orangtua meninggal dunia, anak-anak patut melakukan pattidana atau berbuat jasa kebaikan yang dilimpahkan kepada orangtuanya yang telah meninggal dunia tersebut. Jasa-jasa kebaikan yang dapat dilakukan oleh anak itu antara lain:
1.       Memanjatkan paritta-paritta suci
2.       Mencetak buku-buku Dhamma.
3.       Berdana kepada vihara-vihara yang membutuhkan
4.       Mempersembahkan jubah, Makanan, obat-obatan kepada Bhikkhu Sangha.
5.       Melepas semua makhluk hidup, seperti burung, kura-kura, ikan.
Itulah lima kewajiban yang seyogyanya dilakukan oleh anak kepada orangtuanya. Anak-anak seyogyanya berbakti kepada orangtua ketika masih hidup, karena itu akan lebih besar manfaatnya jika dibandingkan setelah orangtua meninggal dunia. Anak-anak seyogyanya berusaha menyempatkan diri di antara kesibukan-kesibukannya untuk mengunjungi dan memperhatikan orangtuanya. Jika anak-anak membutuhkan cinta dan perhatian dari orangtuanya, maka sesungguhnya orangtua juga membutuhkan cinta dan perhatian dari anak-anaknya.
Dalam masyarakat kadang-kadang terjadi bahwa anak-anak yang sudah menikah mendapat banyak rintangan ketika ingin berbakti kepada orangtuanya. Anak laki-laki yang sudah menikah mungkin diancam oleh isterinya sedemikian rupa, sehingga ia takut dan mengikuti segala keinginan isterinya untuk tidak membantu dan memperhatikan orangtuanya.
Hal ini dapat pula terjadi terhadap anak-anak perempuan yang sudah menikah. Ia dilarang oleh suaminya untuk berhubungan dengan orangtuanya. Ia dilarang untuk membantu orangtuanya yang kadang-kadang memang sedang dalam kesulitan. Ia tidak didukung oleh suaminya ketika ingin berbakti kepada orangtuanya, bahkan ia dikritik dan dicela. Akhirnya, ia akan menjadi ragu dan bimbang, dan kemudian berhenti berbakti kepada orangtuanya. Sebab, ia tidak memiliki keberanian untuk merealisasikan niat baiknya itu. Ia menyadari semua tindakannya yang keliru setelah orangtuanya meninggal dunia. Ia menyesal, tetapi terlambat. Yang ia dapat lakukan kemudian adalah pelimpahan jasa atau pattidana.
Sesungguhnya, umat Buddha yang baik tidak gentar terhadap kritikan dan celaan, apalagi dalam hal berbuat baik, seperti berbakti kepada orangtua. Sang Buddha pernah mengatakan, “Janganlah berhenti berbuat baik hanya karena Anda dikritik. Jika Anda memiliki keberanian untuk melaksanakan perbuatan baik, walaupun dikritik, maka sesungguhnya Andalah orang besar dan dapat berhasil dimana pun.”
Sesungguhnya, anak-anak yang baik akan tetap berbakti kepada orangtuanya walaupun orangtuanya berwatak keras dan berkelakuan buruk. Anak-anak yang baik akan menyadari kebenaran hukum karma, bahwa ia bisa mempunyai orangtua yang berwatak keras dan berkelakuan buruk itu juga disebabkan oleh karma lalunya yang kurang baik. Anak-anak yang baik tidak akan mencela dan membenci orangtuanya yang berbuat salah, karena ia menyadari bahwa orangtuanya yang belum mencapai kesucian itu masih bisa berbuat salah. Anak-anak yang baik tidak akan menganiaya atau membunuh orangtuanya yang mencaci makinya, karena ia memiliki hiri dan ottappa. Anak-anak yang baik akan dapat menerima kenyataan bahwa orangtuanya memiliki kekurangan-kekurangan. Anak-anak yang baik akan memberikan maaf kepada orangtuanya yang melakukan kesalahan-kesalahan. Selanjutnya, anak-anak yang baik akan berusaha melihat sifat-sifat baik yang dimiliki oleh orangtuanya, dan berusaha menyayangi orangtuanya dengan sepenuh hati, serta membimbing orangtuanya ke jalan yang benar dengan cara yang bijaksana.
Dalam Angguttara Nikaya Bab IV ayat 2, Sang Buddha juga memberikan petunjuk mengenai cara terbaik untuk membalas budi dan jasa kebaikan orangtuanya, yaitu sebagai berikut :
“Apabila anak dapat mendorong orangtuanya yang belum mempunyai keyakinan terhadap Tiratana (Buddha, Dhamma, dan Sangha), sehingga mempunyai keyakinan kepada Tiratana; apabila anak dapat membuka mata hati orangtua untuk hidup sesuai dengan Dhamma, membimbing mereka untuk memupuk kamma baik, berdana, melaksanakan sila, mendorong mereka mengembangkan kebijaksanaan, maka anak tersebut dapat membalas budi dan jasa-jasa kebaikan orangtuanya.”
Sesungguhnya, dengan berbuat demikian, selain anak tersebut telah membalas jasa-jasa orangtuanya, ia juga telah menumpuk karma-karma baik bagi dirinya sendiri.
Karena itulah, berbahagialah kita sebagai anak yang masih memiliki orang tua, kita masih memiliki kesempatan untuk membalas jasa mereka. Tetapi bagi kita yang sudah tidak lagi memiliki orang tua, tidak perlu bersedih, masih ada bakti yang dapat kita tunjukkan kepada mereka dengan pelimpahan jasa ( pattidana )
Sumber :
BAKTI ANAK KEPADA ORANGTUA ( Kumpulan Tulisan
)
Oleh : Mettadewi W., S.H., Ag.
Diterbitkan oleh Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta
Cetakan pertama, Juli 1999
print this page Print this page

Tidak ada komentar:

Posting Komentar